Jumat, 08 Maret 2013

“SUSUNAN KEANGGOTAAN,WEWENANG, PERAN SERTA KEDUDUKAN MPR PASCA REFORMASI”


TUGAS HUKUM PEMERINTAHAN PUSAT
 “SUSUNAN KEANGGOTAAN,WEWENANG, PERAN SERTA KEDUDUKAN MPR PASCA  REFORMASI”









BAB I PENDAHULUAN
1.  Latar belakang
Negara Indonesia adalah negara hukum dan sekaligus negara yang menganut paham demokratis. Hal ini tercermin dalam konstitusi negara, dimana supremasi hukum adalah hal yang sangat dijunjung tinggi dan  kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Paham ini juga terwujud dalam bidang ketatanegaraan Indonesia, dimana adanya lembaga negara yang menjalani fungsi tertentu sebagai lembaga Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif.
Sejak bergulirnya era reformasi, telah terjadi berbagai perubahan, baik perubahan dalam penyelenggaraan negara maupun penyelenggaraan pemerintahan. Lembaga negara yang merupakan aktor utama dalam penyelenggaraan negara juga mengalami perubahan yang signifikan. Perubahan ini meliputi susunan keanggotaan, kedudukan, kewenangan dan peran dari lembaga negara. Perubahan yang signifikan terjadi pada lembaga Majelis Permusyawaratan  Rakyat atau MPR, dimana kedudukan lembaga MPR sebagai lembaga tertinggi Negara berubah kedudukan menjadi lembaga tinggi negara.
Perubahan ini tentu memiliki konsekuensi tersendiri bagi kehidupan ketatanegaraan negara Indonesia. Dimana kedudukan lembaga MPR telah berganti dari lembaga tertinggi menjadi lembaga tinggi negara yang institusinya sama dengan lembaga negara yang lain. Hal ini tentu sesuai dengan ide pemisahan kekuasaan negara yang telah kini telah banyak dianut oleh negara-negara lainnya di dunia.

2.  Permasalahan
Perubahan yang telah terjadi pada era reformasi melahirkan permasalan baru mengenai kedudukan dan peran yang diemban oleh MPR pada era Refomasi. Di sisi lain pula, terbit pertanyaan mengenai  bagaimana status yang dimiliki oleh lembaga MPR setelah berubah kedudukan dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara. Timbul pula pertanyaan mengenai susunan keanggotaan lembaga MPR serta wewenang yang dimiliki oleh lembaga MPR setelah era reformasi ini bergulir. Lahir pula pertanyaan mengenai kedaulatan rakyat yang selama ini dipegang oleh MPR apakah akan hilang.

BAB II ISI
Pembahasan
Era reformasi yang terjadi melahirkan perubahan dalam dinamika kehidupan bermasyarakat dan bernegara bangsa Indonesia. Salah satu perubahan penting dalam era ini adalah setelah dilakukannya amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945.  Amandemen UUD 1945 yang telah dilaksanakan sebanyak empat tahapan dalam kurun waktu empat tahun (1999, 2000, 2001, dan 2002) telah membawa implikasi yang fundamental bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tuntutan Perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999 merupakan sebuah dorongan dari gerakan reformasi yang digulirkan oleh berbagai kalangan masyarakat dan kekuatan sosial politik yang didasarkan pada pandangan bahwa dalam UUD 1945 belum cukup memuat landasan yang tepat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, belum terakomodirnya aspek-aspek pemberdayaan masyarakat serta rendahnya penghormatan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia. UUD 1945 sebelum perubahan dipandang sebagai sebuah Undang-Undang Dasar yang menimbulkan multitafsir atau “extraflexible” sehingga membuka peluang terhadap sistem penyelenggaraan negara yang otoriter, sentralistik, tertutup yang dapat menimbulkan kemerosotan di berbagai bidang kehidupan.
Sejalan dengan perkembangan pemikiran rasional atas tuntutan untuk mengatasi kemerosotan tersebut terutama akan sistem pemerintahan yang seharusnya mampu untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang dinamis, demokratis, berorientasikan good governance serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Berkenaan dengan hal tersebut, maka perubahan (amandemen) terhadap hukum dasar/konstitusi negara merupakan suatu keniscayaan.Salah satu hasil Perubahan UUD 1945 yang sangat mendasar adalah berubahnya prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini menyebabkan semua lembaga negara yang diatur di dalam UUD 1945 berkedudukan sama, sejajar dan sederajat. Disamping itu perubahan UUD 1945 juga memberikan kewenangan yang besar pada lembaga legislatif dan yudikatif dalam menjalankan fungsi-fungsinya yang didasarkan pada prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Prinsip tersebut dimaksudkan untuk menegaskan cita-cita negara yang hendak dibangun, yaitu mewujudkan negara hukum yang demokratis.
Hal ini berimplikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR yang sering menghadirkan kesalahpahaman terhadap lembaga MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Kini MPR berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara setara dengan lembaga lainnya yaitu lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa  Keuangan, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Perubahan ini berdampak kepada komposisi keterwakilan MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia hubungan kewenangan dan mekanisme kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu konsistensi pelaksanaan prinsip checks and balances mutlak diperlukan agar sistem hukum dan sistem demokrasi dapat berfungsi sesuai amanat UUD NRI Tahun 1945.
Mengingat pada tahun 2001 lembaga MPR mengalami perubahan status dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara, maka pembahasan tentang lembaga MPR pada era reformasi akan dibagi dalam dua periode. Yakni periode 1998-2001 (MPR berstatus sebagai lembaga tertinggi negara) dan periode 2001 sampai sekarang (MPR berstatus sebagai lembaga negara).
a)    MPR Periode 1998–2001
Pada periode ini lahir lah keinginan untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945 yang merupakan konstitusi negara Indonesia. Hal ini terwujud pada amandemen pertama maupun amandemen kedua UUD 1945 yang membawa implikasi tersendiri bagi ketatanegaraan Indonesia. Dimana hal ini, ditandai dengan munculnya berbagai ketetapan MPR atau yang dikenal dengan TAP MPR, yang mulai dikeluarkan sejak tahun 1998.
Namun pada periode ini, belum dilakukan amandemen terhadap Pasal 1 ayat (2)UUD 1945 yang berbunyi, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat ”. Hal ini tentu berimplikasi pada kehidupan ketatanegaraan Indonesia, dimana lembaga MPR masih mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat.  Hal ini tentu mencerminkan lembaga MPR masih mempunyai kedudukan yang sangat kuat dalam ketatanegaraan Indonesia.
Pada  masa ini pula, susunan keanggotaan  MPR, kedudukannya, maupun kewenangannya sama dengan pada masa Orde Baru. Dimana susunan keanggotaannya terdiri dari anggota DPR ditambah utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. Kedudukan lembaga MPR sebagai lembaga tertinggi negara tetap dipertahankan. Peran serta kewenangan MPR pada periode ini  tetap dipertahankan dimana peran utama sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Di sisi lain kewenangan lembaga MPR berupa kewenangan memilih dan mengangkat presiden serta menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN inilah yang merupakan arah kebijakan penyelenggaraan negara dan menjadi pedoman bagi penyelenggara negara, termasuk lembaga tinggi negara dan seluruh rakyat Indonesia. Kewenangan MPR yang lain adalah mengubah UUD.
Namun hal yang penting dalam periode ini peranan lembaga MPR sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat benar-benar dapat dilaksanakan dengan sepenuhnya. Dapat dikatakan bahwa pada periode ini, MPR berada pada puncak kejayaan dalam fungsi dan peranannya sebagai lembaga tertinggi negara. Hal ini dapat dilihat dari peranannya dalam menidaklanjuti amanat reformasi, mengevaluasi kinerja presiden serta mengambil tindakan terhadap Presiden bila Presiden melakukan pelanggaran terhadap konstitusi atau GBHN.
Beberapa kebijakan dan tindakan yang dilakukan MPR yang dapat dicatat di dalam sejarah penyelenggaraan negara sebagai berikut:
 1) TAP MPR No. VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan TAP MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum yang merupakan jalan untuk menuju amandemen UUD. Dimana pada era sebelumnya amandemen terhadap UUD1945 merupakan hal yang sangat diharamkan.
 2) Amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali.
3) TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN merupakan tekad untuk memfungsikan lembaga-lembaga negara yang selama masa Orde Baru tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Di samping itu, ketetapan ini merupakan langkah awal dalam pemberantasan KKN di negeri ini. Yang tidak kalah menariknya bahwa pada ketetapan itu mencantumkan nama (alm.) mantan Presiden Soeharto.
4) TAP MPR No. III/MPR/1999 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie. Dalam ketetapan ini dinyatakan bahwa MPR menolak pertanggungjawaban Presiden  B.J. Habibie.
5) TAP MPR No. II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid. Ketetapan MPR itu memberhentian Presiden K.H. Abdurrahman Wahid dari jabatannya sebagai presiden RI.
Dari pembahasan yang terjadi diatas dapat diakatakan bahwa lembaga MPR belum mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini timbul karena wewenang, susunan keanggotaan dari lembaga MPR, kedudukan serta perannya belum mengalami perubahan yang signifikan. Walaupun ada beberapa perubahan mendasar yang dilakukan oleh lembaga MPR, tetapi hal ini dirasa belum terlalu menyentuh sendi-sendi kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
Pada periode ini pula, kekuasaan atau wewenang MPR masih terasa sangat kuat. Dimana hal ini dapat dilihat pada poin 4 dan poin 5, yang menerangkan bahwa Presiden bertanggungjawab terhadap MPR yang merupakan representatif dari rakyat Indonesia. Di sisi lain pula, TAP MPR memiliki kekuatan hukum yang kuat dan dianggap sebagai salah satu kekuasaan dari MPR.
b)   Periode 2001–Sekarang
Periode ini ditandai dengan lahirnya berbagai perubahan yang terjadi dalam ketatanegaraan Indonesia. Dengan adanya amandemen yang ketiga dan amandemen yang keempat dari UUD 1945 maka lahirlah babak baru dalam ketatanegaraan Indonesia. Perubahan yang signifikan terjadi pada lembaga MPR dimana kedudukan, susunan keanggotaan, peran serta wewenangnya mulai berubah secara signifikan.
Sejak amandemen ketiga yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001, MPR mengalami perubahan status dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara. Perubahan status MPR menjadi lembaga negara disebabkan oleh perubahan pada Pasal 1 ayat 2 UUD1945. Sebelum diamandemen berbunyi, “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Setelah diamandemen berbunyi, “Kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD ”.Dengan perubahan itu, kedaulatan kembali kepada rakyat dan tidak lagi dilakukan oleh MPR. Dengan kata lain, MPR tidak lagi dapat dianggap sebagai representatif dari seluruh rakyat Indonesia.Karena itu, MPR tidak lagi memilih presiden. Melainkan rakyatlah yang memilih presiden secara langsung. Presiden juga tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, melainkan bertanggung jawab kepada rakyat. Hal ini menunjukan adanya pengurangan kewenangan  MPR yang dirasakan begitu besar.
Wewenang MPR berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 adalah:
a) Melantik presiden dan wakil presiden;
b) Mengubah dan menetapkan UUD;
c) Memberhentikan presiden menurut prosedur yang ditetapkan oleh UUD;
d) Bila presiden berhalangan tetap, MPR akan melantik Wakil Presiden untuk  menjadi presiden dan akan memilih Wapres dari dua orang calon yang diajukan oleh presiden yang baru dilantik.
e) Bila presiden dan Wapres berhalangan semua, MPR akan mengadakan pemilihan     presiden-Wapres dari dua pasangan capres-cawapres dari hasil pemilu lalu yang meraih suara terbanyak.
Saat ini MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara, baik yang berbentuk GBHN maupun berupa peraturan perundang-undangan, serta tidak lagi memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meng­anut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara lang­sung oleh rakyat yang memiliki program yang ditawarkan lang­sung kepa­da rakyat. Jika calon Presiden dan Wakil Presiden itu menang maka program itu menjadi program pemerintah selama lima tahun. Berkaitan dengan hal itu, wewenang MPR adalah melantik Presiden atau Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam hal ini MPR tidak boleh tidak melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden yang sudah terpilih.Melihat kewenangan-kewenangan diatas, maka lahirlah pendapat yang menyatakan bahwa MPR adalah “forum Joint Session” karena MPR sebagai tempat bertemu anggota DPR dan DPD ketika melaksanakan pasal 3. Dimana dalam Pasal 3 UUD 1945 tertuang bahwa MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD 1945,dan melantik serta memberhentikan Preiden dan Wapres. Selain itu, MPR tidak melaksanakan tugas sehari-hari jadi MPR hanya bersifat ad-hoc saja. Dimana ketika terjadi hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan lembaga MPR maka, lembaga ini dapat melakukan tugas dan kewengangannya. 
Sejak periode ini pula, dimulai babak baru dalam ketatanegaraan negara Indonesia. Dimana kedudukan lembaga MPR kini setara dengan lembaga lainnya seperti yang diamanatkan oleh UUD1945. Adapun kedudukan MPR kini setara dengan lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan,  Mahkamah Agung dan  Mahkamah Konstitusi. Hal ini tentu membawa implikasi tersendiri bagi lembaga MPR jika melihat kedudukannya yang tidak lagi menjadi strategis dalam ketatanegaraan Indonesia. Kedudukan yang setara ini berimplikasi terhadap peran dari lembaga MPR dimana MPR tidak lagi menjadi corong dari kedaulatan rakyat dimana kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat itu sendiri dan dilaksanakan menurut UUD. Hal ini dapat diamati dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi, “Kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD ”.
Namun peran MPR MPR pasca perubahan Undang-Undang Dasar dapat dilihat dari sikap MPR terhadap adanya wacana perubahan kembali UUD 1945 serta upaya MPR dalam menegakkan kehidupan berkonstitusi di negara kita. Berkembangnya pendapat terkait dengan adanya wacana tentang Perubahan UUD NRI Tahun 1945, oleh Pimpinan MPR dipandang sebagai bentuk kedaulatan rakyat, HAM dan partisipasi publik dalam hal menyampaikan aspirasi dan kepentingan bagi kemajuan dan koreksi dalam hal penyelenggaraan negara yang mengedepankan kepentingan publik. Peran ini tentu masih menjadi peran yang sangat sentral yang tidak dimiliki oleh lembaga negara yang lain. Peran MPR lainnya dapat dilihat dalam upayanya meningkatkan pemahaman berkonstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara konsisten dan konsekuen oleh seluruh komponen bangsa, jelas membutuhkan pemahaman secara utuh dan menyeluruh mengenai Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.
Pada era ini pula, terjadi perubahan yang signifikan dalam susunan keanggotaan lembaga MPR. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi, “MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu”. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, secara teoritis berarti terjadi perubahan yang fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu dari sistem yang sebelumnya vertikal-hierarkis dengan prinsip supremasi MPR menjadi sistem yang horisontal-fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antarlembaga negara. Susunan keanggotaan yang baru ini mengakibatkan lembaga MPR dikatakan sebagai lembaga yang menganut soft bi-kameral. Hal ini tercermin dalam susunan keanggotaan dimana keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD, yang bersifat individual. Hal ini tentu mencerminkan semangat perubahan yang diusung pada era reformasi ini.
Walaupun demikian peran lembaga MPR masih dirasakan sangat besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini ditandai dimana, ketetapan MPR masih memiliki kekuatan dalam hierarki tata perundang-undangan negara Indonesia. Hal ini dapat kita jumpai dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini tentu membawa implikasi tersendiri bagi lembaga MPR dimana TAP MPR dirasakan masih mempunyai pengaruh dalam sistem hukum  di negara Indonesia. Dengan adanya UU ini menunjukan bahwa MPR tetap memiliki  kekuatan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.



BAB III PENUTUP
1.   Kesimpulan
Perubahan yang diusung pada era reformasi telah membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, kini MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya.Berubahnya kedudukan MPR tidaklah menghilangkan eksistensi lembaga maupun Pimpinan MPR. Sebagai lembaga negara yang mempunyai eksistensi dalam sebuah bangunan negara, MPR secara konstitusional diberikan fungsi dan wewenang sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 dan Pasal 8 UUD 1945. Meskipun sebatas yang tercantum dalam pasal-pasal dan ayat-ayat itu, fungsi dan kewenangan MPR sekarang, substansinya adalah menyangkut hal-hal yang sangat penting dan mendasar dalam kehidupan bernegara. Dengan demikian perubahan kedudukan, tugas, dan wewenang MPR tidak berarti menghilangkan eksistensi MPR dan Pimpinannya serta peran penting MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, MPR masih mempunyai peran penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Peran keseharian MPR lainnya juga terlihat dari upaya MPR mengelola setiap wacana usul perubahan UUD NRI Tahun 1945 dan peningkatan pemahaman konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui sosialisasi UUD NRI 1945.
2.   Saran
a.           Bagi Masyarakat:
Perubahan yang terjadi pada lembaga MPR pada era reformasi ini tentu tidak hanya berhenti disaat ini saja melainkan diperlukan peran aktif dan responsif  dari segenap masyarakat Indonesia demi terciptanya  lembaga MPR yang lebih baik agar kedepannya lembaga MPR dapat menjadi lembaga yang optimal serta transparan yang dapat membaktikan dirinya bagi segenap bangsa Indonesia.
b.           Bagi MPR:
Walaupun banyak perubahan yang terjadi dalam lembaga MPR tetapi rakyat Indonesia membutuhkan MPR dalam mengawal demokrasi yang diusung pada era reformasi ini dan rakyat berharap MPR dapat bekerja seoptimal mungkin, serta menjujung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia dan mampu mengemban amanat reformasi yang telah dilakukan.

REFRENSI
v  Catatan Kuliah Hukum Pemerintahan Pusat Y. Hartono, SH,M.Hum. yang dikuliahkan pada Fakultas Hukum Universitas  Atma Jaya Yogyakarta tahun 2011.
v  Gadrianto,Ir. MS.c, Peranan MPR Orba dan Era Reformasi.Radar Lampung. 2010.
v  Fatwa, A.M. Dr. Tugas dan Fungsi MPR serta  Hubungan Antarlembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan. Sekretariat Jenderal MPR, 2009.
v  Kansil, C.S.T., Drs., SH., Ilmu Negara,Pradnya Paramita,2007.
v   Mahmud, H.M. Aksa, Komposisi Keterwakilan MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945.Sekretariat Jenderal MPR, 2009.
v  Sudibyo, BRA Mooryati, Dr. MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan). Sekretariat Jenderal MPR, 2009.
v  Wahid, H.M. Hidayat Nur, Dr. M.A. Tugas, Wewenang, dan Peran MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945. Sekretariat Jenderal MPR, 2009.
v  Amir, Makmur & Reni Dwi Purnomowati, Lembaga Perwakilan Rakyat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.
v  Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Sejarah, Realita, dan Dinamika, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia, 2006.
v  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008.
v  Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
v  Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar