Selasa, 25 Februari 2014

KRONOLOGI TIWU LEWU (PeristiwaTerjadinyaTiwu Lewu)



Peristiwa Anjing Metu Eta
           Pada zaman dahulu (sekitar tahun1050) di sebuah kampung terdapat 2 (dua) orang ibu yangbarumelahirkan. Adat istiadat dalam Masyarakat Adat Lape menyatakan bahwa, seorang ibu yang baru melahirkan, dilarang keluar dari rumahnya(bertamu ke rumah tetangganya dan bekerja di ladang atau kebun). Selain itu, api yang berada di tungku api yang terdapat dalam rumahnya, tidak boleh padam. Larangan tersebut berlaku setelah tali pusarnya telah keringsampai jatuh yang biasanya berlangsung selama 5-7 (lima hinggatujuh) hari. Apabila tali pusarnya telah kering sampai jatuh maka diadakan upacara adat. Setelah dilakukan upacara adat, maka ibu yang baru melahirkan dapat keluar rumah dan api di tungku apinya boleh padam.
            Pada suatu hari kedua ibu tersebut ditinggal oleh warga kampung untuk bekerja di kebun. Pada suatu waktu, api yang berada dalam tungku api dari salah satu rumahibu tersebut padam karena suatu dan lain hal. Ibu tersebut mempunyai seekor anjing yang diberi nama Metu Eta. Ibu tersebut meminta api pada tetangganya, seorang ibu yang juga baru melahirkan. Namun tetangganya mengatakan bahwa ia juga tidak dapat keluar dari rumahnya untuk memberikan api karena haram menurut adat istiadat yang berlaku. Maka diputuskan untuk mengirimkan api melalui anjing Metu Eta. Pengiriman api tersebut dilakukan dengan cara memanggil anjing Metu Eta ke rumah tetangganya. Api tersebut dikirimkan melalui sabut kelapa yang diikat pada ekor anjing Metu Eta. Anjing Metu Eta dipanggil oleh pemiliknya. Ketika anjing Metu Eta berlari ke rumah pemiliknya, anjing tersebut merasa kepanasan sehingga larinya tidak seperti biasanya. Kedua ibu itu melihat hal tersebut dan tertawa karena merasa lucu atas peristiwa tersebut. Api yang berada pada sabut kelapa yang diikat pada ekor anjing Metu Eta dibuka oleh pemiliknya. Sambil tertawa, pemilik anjing Metu Eta menyalakan api tersebut pada tungku apinya
            Pada saat petang ketika sebagian warga pulang dari kebun, kedua ibu itu menceritakan kisah tersebut. Kedua ibu itu menceritakan peritiwatersebut dengan lelucon yaitu menirukan gerakan dari anjing Metu Eta saatberlari. Kisah dan gerakan tersebut dirasa lucu oleh warga kampung yang mendengarnya. Peristiwa anjing Metu Eta tersebar dengan cepat ke seluruh warga yang berada dalam kampung tersebut. Sehingga warga yang berada dalam kampung tersebut mengetahui cerita peristiwa tersebut. Mereka tertawa terbahak-bahak dengan kisah dan gerakan dari anjing Metu Eta.
            Kemudian turunlah hujan lebat dan muncullah airseperti mata air, di tengah kampung. Hujan dan air yang muncul di tengah kampungsehingga menenggelamkan kampung tersebut. Kampung tersebut tenggelam dan tempatnya berubah menjadi sebuah danau. Danau tersebut dinamakan Tiwu Lewu. Tiwu Lewu berasal dari kata “Tiwu” yang berarti air yang tergenang dan “Lewu” yang berarti kampung yang tenggelam. Pada saat ini, danau tersebut berada di daerah Ratesuba, Kecamatan Maukaro Kabupaten Ende.
            Ketika peristiwa tenggelamnya kampung tersebut ada beberapa warga dari kampung tersebut yang selamat dari tenggelamnya kampung. Mereka kemudian bergabung dengan sebagian warga yang sedang berada di kebun dan menceritakan peristiwa tersebut. Sebagian warga yang selamat tersebut menjadi cikal bakal Masyarakat Adat Lape.
Demikianlah peristiwa dari asal muasal Masyarakat Adat Lape.

(Berdasarkan Wawancara Dengan LPA Lape)

Senin, 03 Februari 2014

Masyarakat Adat Lape






MASYARAKAT ADAT LAPE
(KABUPATEN NAGEKEO)





Masyarakat Adat Lape merupakan masyarakat adat yang mendiami wilayah Flores Tengah bagian utara. Dewasa ini Masyarakat Adat Lape termasuk dalam wilayah Kabupaten Nagekeo, khususnya wilayah utara Kabupaten Nagekeo, tepatnya di Kecamatan Aesesa.
Kata Lape dalam Masyarakat Adat Lape berasal dari bahasa daerah yang berarti berlapis-lapis keturunannya. Maka Masyarakat Adat Lape merupakan masyarakat adat yang berlapis-lapis yang telah mendiami wilayah utara Kabupaten Nagekeo, khususnya di wilayah Kecamatan Aesesa.

Masyarakat Adat Lape berasal dari Tiwu Lewu (wilayah Ratesuba, Kabupaten Ende). Masyarakat Adat Lape berpindah dari Tiwu Lewu sekitar tahun 1050. Masyarakat Adat Lape berpindah dari Tiwu Lewu karena peristiwa tenggelamnya kampung yang berada di Tiwu Lewu.
Masyarakat Adat Lape terdiri dari 7 Suku atau Woe yaitu :
  • Suku Woerenge
  • Suku Rogaau
  • Suku Nakanawe
  • Suku Ko
  • Suku Nakazalewawo
  • Suku Rogawawo
  • Suku Nakazaleau
Suku-Suku tersebut merupakan suku-suku pembentuk dari Persekutuan Masyarakat Adat Lape. Dalam Masyarakat Adat Lape, Suku-Suku pembentuknya memiliki kedudukannya yang setara. Sehingga dalam Masyarakat Adat Lape tidak dikenal adanya Suku utama dan Suku pendukung. Setiap Suku memiliki kedudukan yang setara sehingga berpengaruh terhadap proses serta struktur dari kepemimpinan dalam Masyarakat Adat Lape. Pemimpin Persekutuan Masyarakat Adat Lape disebut "Ku Ulu Enga Eko".

(Oleh Yoseph Soa Seda)
(Berdasarkan Wawancara Dengan LPA Lape, Tanggal 08-12 Januari 2014)