Peristiwa Anjing Metu Eta
Pada
zaman dahulu (sekitar tahun1050) di sebuah kampung terdapat 2 (dua) orang ibu yangbarumelahirkan.
Adat istiadat dalam Masyarakat Adat Lape menyatakan bahwa, seorang ibu yang baru melahirkan,
dilarang keluar dari rumahnya(bertamu ke rumah tetangganya dan bekerja di
ladang atau kebun). Selain itu, api yang berada di tungku api yang terdapat
dalam rumahnya, tidak boleh padam. Larangan tersebut berlaku setelah tali
pusarnya telah keringsampai jatuh yang biasanya berlangsung selama 5-7 (lima hinggatujuh)
hari. Apabila tali pusarnya telah kering sampai jatuh maka
diadakan upacara adat. Setelah dilakukan upacara adat, maka ibu yang baru melahirkan
dapat keluar rumah dan api di tungku apinya boleh padam.
Pada
suatu hari kedua ibu tersebut ditinggal oleh warga kampung untuk bekerja di
kebun. Pada suatu waktu, api yang berada dalam tungku api dari salah satu rumahibu
tersebut padam karena suatu dan lain hal. Ibu tersebut mempunyai seekor anjing
yang diberi nama Metu Eta. Ibu tersebut meminta api pada tetangganya, seorang ibu
yang juga baru melahirkan. Namun tetangganya mengatakan bahwa ia juga tidak
dapat keluar dari rumahnya untuk memberikan api karena haram menurut adat
istiadat yang berlaku. Maka diputuskan untuk mengirimkan api melalui anjing
Metu Eta. Pengiriman api tersebut dilakukan dengan cara memanggil anjing Metu
Eta ke rumah tetangganya. Api tersebut dikirimkan melalui sabut kelapa yang
diikat pada ekor anjing Metu Eta. Anjing Metu Eta dipanggil oleh pemiliknya.
Ketika anjing Metu Eta berlari ke rumah pemiliknya, anjing tersebut merasa
kepanasan sehingga larinya tidak seperti biasanya. Kedua ibu itu melihat hal
tersebut dan tertawa karena merasa lucu atas peristiwa tersebut. Api yang
berada pada sabut kelapa yang diikat pada ekor anjing Metu Eta dibuka oleh
pemiliknya. Sambil tertawa, pemilik anjing Metu Eta menyalakan api tersebut
pada tungku apinya
Pada
saat petang ketika sebagian warga pulang dari kebun, kedua ibu itu menceritakan
kisah tersebut. Kedua ibu itu menceritakan peritiwatersebut dengan lelucon
yaitu menirukan gerakan dari anjing Metu Eta saatberlari. Kisah dan gerakan
tersebut dirasa lucu oleh warga kampung yang mendengarnya. Peristiwa anjing Metu
Eta tersebar dengan cepat ke seluruh warga yang berada dalam kampung tersebut. Sehingga
warga yang berada dalam kampung tersebut mengetahui cerita peristiwa tersebut. Mereka
tertawa terbahak-bahak dengan kisah dan gerakan dari anjing Metu Eta.
Kemudian
turunlah hujan lebat dan muncullah airseperti mata air, di tengah kampung.
Hujan dan air yang muncul di tengah kampungsehingga menenggelamkan kampung
tersebut. Kampung tersebut tenggelam dan tempatnya berubah menjadi sebuah
danau. Danau tersebut dinamakan Tiwu Lewu. Tiwu Lewu berasal dari kata “Tiwu”
yang berarti air yang tergenang dan “Lewu” yang berarti kampung yang tenggelam.
Pada saat ini, danau tersebut berada di daerah Ratesuba, Kecamatan Maukaro
Kabupaten Ende.
Ketika
peristiwa tenggelamnya kampung tersebut ada beberapa warga dari kampung
tersebut yang selamat dari tenggelamnya kampung. Mereka kemudian bergabung
dengan sebagian warga yang sedang berada di kebun dan menceritakan peristiwa
tersebut. Sebagian warga yang selamat tersebut menjadi cikal bakal Masyarakat
Adat Lape.
Demikianlah peristiwa dari asal muasal
Masyarakat Adat Lape.
(Berdasarkan Wawancara Dengan LPA Lape)
(Berdasarkan Wawancara Dengan LPA Lape)