TUGAS HUKUM
PEMERINTAHAN PUSAT
“SUSUNAN KEANGGOTAAN,WEWENANG, PERAN SERTA
KEDUDUKAN MPR PASCA REFORMASI”
BAB
I PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Negara Indonesia adalah negara hukum
dan sekaligus negara yang menganut paham demokratis. Hal ini tercermin dalam
konstitusi negara, dimana supremasi hukum adalah hal yang sangat dijunjung
tinggi dan kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Paham ini juga terwujud
dalam bidang ketatanegaraan Indonesia, dimana adanya lembaga negara yang
menjalani fungsi tertentu sebagai lembaga Eksekutif, Legislatif maupun
Yudikatif.
Sejak bergulirnya era reformasi,
telah terjadi berbagai perubahan, baik perubahan dalam penyelenggaraan negara
maupun penyelenggaraan pemerintahan. Lembaga negara yang merupakan aktor utama
dalam penyelenggaraan negara juga mengalami perubahan yang signifikan.
Perubahan ini meliputi susunan keanggotaan, kedudukan, kewenangan dan peran dari
lembaga negara. Perubahan yang signifikan terjadi pada lembaga Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau MPR, dimana
kedudukan lembaga MPR sebagai lembaga tertinggi Negara berubah kedudukan
menjadi lembaga tinggi negara.
Perubahan ini tentu memiliki konsekuensi tersendiri bagi
kehidupan ketatanegaraan negara Indonesia. Dimana kedudukan lembaga MPR telah
berganti dari lembaga tertinggi menjadi lembaga tinggi negara yang institusinya
sama dengan lembaga negara yang lain. Hal ini tentu sesuai dengan ide pemisahan
kekuasaan negara yang telah kini telah banyak dianut oleh negara-negara lainnya
di dunia.
2. Permasalahan
Perubahan yang telah terjadi pada era reformasi
melahirkan permasalan baru mengenai kedudukan dan peran yang diemban oleh MPR
pada era Refomasi. Di sisi lain pula, terbit pertanyaan mengenai bagaimana status yang dimiliki oleh lembaga
MPR setelah berubah kedudukan dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga
tinggi negara. Timbul pula pertanyaan mengenai susunan keanggotaan lembaga MPR
serta wewenang yang dimiliki oleh lembaga MPR setelah era reformasi ini
bergulir. Lahir pula pertanyaan mengenai kedaulatan rakyat yang selama ini
dipegang oleh MPR apakah akan hilang.
BAB II ISI
Pembahasan
Era reformasi yang
terjadi melahirkan perubahan dalam dinamika kehidupan bermasyarakat dan
bernegara bangsa Indonesia. Salah satu perubahan penting dalam era ini adalah
setelah dilakukannya amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945. Amandemen
UUD 1945 yang telah dilaksanakan sebanyak empat tahapan dalam kurun waktu empat
tahun (1999, 2000, 2001, dan 2002) telah membawa implikasi yang fundamental
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tuntutan Perubahan UUD 1945 yang
dilakukan pada tahun 1999 merupakan sebuah dorongan dari gerakan reformasi yang
digulirkan oleh berbagai kalangan masyarakat dan kekuatan sosial politik yang
didasarkan pada pandangan bahwa dalam UUD 1945 belum cukup memuat landasan yang
tepat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, belum
terakomodirnya aspek-aspek pemberdayaan masyarakat serta rendahnya penghormatan
terhadap nilai-nilai hak asasi manusia. UUD
1945 sebelum perubahan dipandang sebagai sebuah Undang-Undang Dasar yang
menimbulkan multitafsir atau “extraflexible” sehingga membuka peluang terhadap
sistem penyelenggaraan negara yang otoriter, sentralistik, tertutup yang dapat
menimbulkan kemerosotan di berbagai bidang kehidupan.
Sejalan dengan perkembangan
pemikiran rasional atas tuntutan untuk mengatasi kemerosotan tersebut terutama
akan sistem pemerintahan yang seharusnya mampu untuk menciptakan
penyelenggaraan negara yang dinamis, demokratis, berorientasikan good
governance serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Berkenaan dengan hal
tersebut, maka perubahan (amandemen) terhadap hukum dasar/konstitusi negara merupakan
suatu keniscayaan.Salah satu hasil Perubahan UUD 1945 yang sangat mendasar
adalah berubahnya prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya
oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) menjadi dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar. Hal ini menyebabkan semua lembaga negara yang diatur di
dalam UUD 1945 berkedudukan sama, sejajar dan sederajat. Disamping itu
perubahan UUD 1945 juga memberikan kewenangan yang besar pada lembaga
legislatif dan yudikatif dalam menjalankan fungsi-fungsinya yang didasarkan
pada prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Prinsip
tersebut dimaksudkan untuk menegaskan cita-cita negara yang hendak dibangun,
yaitu mewujudkan negara hukum yang demokratis.
Hal ini berimplikasi terhadap
kedudukan, tugas, dan wewenang MPR yang sering menghadirkan kesalahpahaman
terhadap lembaga MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara,
pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Kini MPR berkedudukan
sebagai lembaga tinggi negara setara dengan lembaga lainnya yaitu lembaga
Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan
Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan
Mahkamah Konstitusi. Perubahan
ini berdampak kepada komposisi keterwakilan MPR dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia hubungan kewenangan dan mekanisme kerja antar lembaga negara dalam
penyelenggaraan negara. Oleh karena itu konsistensi pelaksanaan prinsip checks
and balances mutlak diperlukan agar sistem hukum dan sistem demokrasi dapat
berfungsi sesuai amanat UUD NRI Tahun 1945.
Mengingat pada
tahun 2001 lembaga MPR mengalami perubahan status dari lembaga tertinggi negara
menjadi lembaga negara, maka pembahasan tentang lembaga MPR pada era reformasi
akan dibagi dalam dua periode. Yakni periode 1998-2001 (MPR berstatus sebagai
lembaga tertinggi negara) dan periode 2001 sampai sekarang (MPR berstatus
sebagai lembaga negara).
a) MPR
Periode 1998–2001
Pada periode
ini lahir lah keinginan untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945 yang
merupakan konstitusi negara Indonesia. Hal ini terwujud pada amandemen pertama
maupun amandemen kedua UUD 1945 yang membawa implikasi tersendiri bagi
ketatanegaraan Indonesia. Dimana hal ini, ditandai dengan munculnya berbagai ketetapan
MPR atau yang dikenal dengan TAP MPR, yang mulai dikeluarkan sejak tahun 1998.
Namun pada periode ini, belum
dilakukan amandemen terhadap Pasal 1 ayat (2)UUD 1945 yang berbunyi, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat,
dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat ”. Hal ini
tentu berimplikasi pada kehidupan ketatanegaraan Indonesia, dimana lembaga MPR
masih mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan
pelaksana kedaulatan rakyat. Hal ini
tentu mencerminkan lembaga MPR masih mempunyai kedudukan yang sangat kuat dalam
ketatanegaraan Indonesia.
Pada masa
ini pula,
susunan keanggotaan MPR, kedudukannya, maupun kewenangannya sama
dengan pada masa Orde Baru. Dimana
susunan keanggotaannya terdiri dari anggota DPR ditambah utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan. Kedudukan lembaga MPR sebagai lembaga
tertinggi negara tetap dipertahankan. Peran serta kewenangan MPR pada periode
ini tetap dipertahankan dimana peran
utama sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Di sisi lain
kewenangan lembaga MPR berupa kewenangan memilih dan mengangkat
presiden serta menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN
inilah yang merupakan arah kebijakan penyelenggaraan negara dan menjadi pedoman
bagi penyelenggara negara, termasuk lembaga tinggi negara dan seluruh rakyat
Indonesia. Kewenangan MPR yang lain adalah mengubah UUD.
Namun hal yang
penting dalam periode ini peranan lembaga MPR sebagai lembaga tertinggi negara,
pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat benar-benar dapat dilaksanakan dengan
sepenuhnya. Dapat dikatakan bahwa pada periode ini, MPR berada pada puncak
kejayaan dalam fungsi dan peranannya sebagai lembaga tertinggi negara. Hal ini
dapat dilihat dari peranannya dalam menidaklanjuti amanat reformasi,
mengevaluasi kinerja presiden serta mengambil tindakan terhadap Presiden bila
Presiden melakukan pelanggaran terhadap konstitusi atau GBHN.
Beberapa kebijakan dan
tindakan yang dilakukan MPR yang dapat dicatat di dalam sejarah penyelenggaraan
negara sebagai berikut:
1) TAP MPR No. VIII/MPR/1998 tentang
Pencabutan TAP MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum yang merupakan jalan
untuk menuju amandemen UUD. Dimana
pada era sebelumnya amandemen terhadap UUD1945 merupakan hal yang sangat
diharamkan.
2) Amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat
kali.
3)
TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas
KKN merupakan tekad untuk memfungsikan lembaga-lembaga negara yang selama masa Orde Baru tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Di
samping itu, ketetapan ini merupakan langkah awal dalam pemberantasan KKN di
negeri ini. Yang tidak kalah menariknya bahwa pada ketetapan itu mencantumkan
nama (alm.) mantan Presiden Soeharto.
4)
TAP MPR No. III/MPR/1999 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia
Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie. Dalam ketetapan ini dinyatakan bahwa MPR menolak
pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie.
5)
TAP MPR No. II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia
K.H. Abdurrahman Wahid. Ketetapan MPR itu memberhentian Presiden K.H. Abdurrahman
Wahid dari jabatannya sebagai presiden RI.
Dari pembahasan yang terjadi diatas
dapat diakatakan bahwa lembaga MPR belum mengalami perubahan yang signifikan.
Hal ini timbul karena wewenang, susunan keanggotaan dari lembaga MPR, kedudukan
serta perannya belum mengalami perubahan yang signifikan. Walaupun ada beberapa
perubahan mendasar yang dilakukan oleh lembaga MPR, tetapi hal ini dirasa belum
terlalu menyentuh sendi-sendi kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
Pada periode ini pula, kekuasaan
atau wewenang MPR masih terasa sangat kuat. Dimana hal ini dapat dilihat pada
poin 4 dan poin 5, yang menerangkan bahwa Presiden bertanggungjawab terhadap
MPR yang merupakan representatif dari rakyat Indonesia. Di sisi lain pula, TAP
MPR memiliki kekuatan hukum yang kuat dan dianggap sebagai salah satu kekuasaan
dari MPR.
b) Periode
2001–Sekarang
Periode ini ditandai dengan
lahirnya berbagai perubahan yang terjadi dalam ketatanegaraan Indonesia. Dengan
adanya amandemen yang ketiga dan amandemen yang keempat dari UUD 1945 maka
lahirlah babak baru dalam ketatanegaraan Indonesia. Perubahan yang signifikan
terjadi pada lembaga MPR dimana kedudukan, susunan keanggotaan, peran serta
wewenangnya mulai berubah secara signifikan.
Sejak amandemen ketiga yang
ditetapkan pada tanggal 9 November 2001, MPR mengalami perubahan status dari
lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara. Perubahan status MPR
menjadi lembaga negara disebabkan oleh perubahan pada Pasal 1 ayat 2 UUD1945.
Sebelum diamandemen berbunyi, “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh MPR”. Setelah diamandemen berbunyi, “Kedaulatan ditangan rakyat
dan dilaksanakan menurut UUD ”.Dengan perubahan itu, kedaulatan kembali kepada
rakyat dan tidak lagi dilakukan oleh MPR. Dengan kata lain, MPR tidak lagi
dapat dianggap sebagai representatif dari seluruh rakyat Indonesia.Karena
itu, MPR tidak lagi memilih presiden. Melainkan rakyatlah yang memilih presiden
secara langsung. Presiden juga tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR,
melainkan bertanggung jawab kepada rakyat. Hal ini menunjukan adanya pengurangan kewenangan MPR yang dirasakan begitu besar.
Wewenang MPR berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8
ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 adalah:
a)
Melantik presiden dan wakil presiden;
b)
Mengubah dan menetapkan UUD;
c)
Memberhentikan presiden menurut prosedur yang ditetapkan oleh UUD;
d) Bila presiden berhalangan tetap,
MPR akan melantik Wakil Presiden untuk menjadi presiden dan akan
memilih Wapres dari dua orang calon yang diajukan oleh presiden yang baru
dilantik.
e)
Bila presiden dan Wapres berhalangan semua, MPR akan mengadakan
pemilihan presiden-Wapres dari dua pasangan
capres-cawapres dari hasil pemilu lalu yang meraih suara terbanyak.
Saat ini
MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara, baik yang berbentuk GBHN maupun berupa peraturan
perundang-undangan, serta tidak lagi memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil
Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menganut sistem
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat yang
memiliki program yang ditawarkan langsung kepada rakyat. Jika calon Presiden
dan Wakil Presiden itu menang maka program itu menjadi program pemerintah
selama lima tahun. Berkaitan dengan hal itu, wewenang MPR adalah melantik
Presiden atau Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam
hal ini MPR tidak boleh tidak melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden yang
sudah terpilih.Melihat kewenangan-kewenangan diatas, maka lahirlah
pendapat yang menyatakan bahwa MPR adalah “forum
Joint Session” karena MPR sebagai tempat bertemu anggota DPR dan DPD
ketika melaksanakan pasal 3. Dimana dalam Pasal 3 UUD 1945 tertuang bahwa MPR
berwenang mengubah dan menetapkan UUD 1945,dan melantik serta memberhentikan
Preiden dan Wapres. Selain itu, MPR tidak melaksanakan tugas sehari-hari jadi
MPR hanya bersifat ad-hoc saja. Dimana ketika terjadi hal-hal yang berkaitan
dengan kewenangan lembaga MPR maka, lembaga ini dapat melakukan tugas dan
kewengangannya.
Sejak periode ini
pula, dimulai babak baru dalam ketatanegaraan negara Indonesia. Dimana
kedudukan lembaga MPR kini setara dengan lembaga lainnya seperti yang
diamanatkan oleh UUD1945. Adapun kedudukan MPR kini setara dengan lembaga
Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa
Keuangan, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Hal ini tentu membawa
implikasi tersendiri bagi lembaga MPR jika melihat kedudukannya yang tidak lagi
menjadi strategis dalam ketatanegaraan Indonesia. Kedudukan yang setara ini
berimplikasi terhadap peran dari lembaga MPR dimana MPR tidak lagi menjadi
corong dari kedaulatan rakyat dimana kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat
itu sendiri dan dilaksanakan menurut UUD. Hal ini dapat diamati dalam Pasal 1
ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi, “Kedaulatan ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut UUD ”.
Namun peran
MPR MPR pasca
perubahan Undang-Undang Dasar dapat dilihat dari sikap MPR terhadap adanya
wacana perubahan kembali UUD 1945 serta upaya MPR dalam menegakkan kehidupan
berkonstitusi di negara kita. Berkembangnya pendapat terkait dengan adanya
wacana tentang Perubahan UUD NRI Tahun 1945, oleh Pimpinan MPR dipandang
sebagai bentuk kedaulatan rakyat, HAM dan partisipasi publik dalam hal
menyampaikan aspirasi dan kepentingan bagi kemajuan dan koreksi dalam hal
penyelenggaraan negara yang mengedepankan kepentingan publik. Peran ini tentu
masih menjadi peran yang sangat sentral yang tidak dimiliki oleh lembaga negara
yang lain. Peran MPR
lainnya dapat dilihat dalam upayanya meningkatkan pemahaman berkonstitusi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945
secara konsisten dan konsekuen oleh seluruh komponen bangsa, jelas membutuhkan
pemahaman secara utuh dan menyeluruh mengenai Undang-Undang Dasar 1945
tersebut.
Pada era ini pula, terjadi perubahan yang signifikan
dalam susunan keanggotaan lembaga MPR. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat
(1) yang berbunyi, “MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih
melalui pemilu”. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, secara teoritis berarti
terjadi perubahan yang fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu
dari sistem yang sebelumnya vertikal-hierarkis dengan prinsip supremasi MPR menjadi
sistem yang horisontal-fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling
mengawasi antarlembaga negara. Susunan keanggotaan yang baru ini mengakibatkan
lembaga MPR dikatakan sebagai lembaga yang menganut soft bi-kameral. Hal ini
tercermin dalam susunan keanggotaan dimana keanggotaan MPR terdiri dari anggota
DPR dan anggota DPD, yang bersifat individual. Hal ini tentu mencerminkan
semangat perubahan yang diusung pada era reformasi ini.
Walaupun demikian peran lembaga MPR masih dirasakan
sangat besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini ditandai dimana,
ketetapan MPR masih memiliki kekuatan dalam hierarki tata perundang-undangan
negara Indonesia. Hal ini dapat kita jumpai dalam UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini tentu membawa
implikasi tersendiri bagi lembaga MPR dimana TAP MPR dirasakan masih mempunyai
pengaruh dalam sistem hukum di negara
Indonesia. Dengan adanya UU ini menunjukan bahwa MPR tetap memiliki kekuatan dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Perubahan yang diusung
pada era reformasi telah
membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu
berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana
sepenuhnya kedaulatan rakyat, kini MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang
setara dengan lembaga negara lainnya.Berubahnya kedudukan MPR tidaklah
menghilangkan eksistensi
lembaga maupun Pimpinan MPR. Sebagai
lembaga negara yang mempunyai eksistensi dalam sebuah bangunan negara, MPR
secara konstitusional diberikan fungsi dan wewenang sebagaimana tercantum dalam
Pasal 3 dan Pasal 8 UUD 1945. Meskipun sebatas yang tercantum dalam pasal-pasal
dan ayat-ayat itu, fungsi dan kewenangan MPR sekarang, substansinya adalah menyangkut
hal-hal yang sangat penting dan mendasar dalam kehidupan bernegara. Dengan
demikian perubahan kedudukan, tugas, dan wewenang MPR tidak berarti
menghilangkan eksistensi MPR dan Pimpinannya serta peran penting MPR dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia, MPR masih mempunyai peran penting dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Peran keseharian MPR lainnya juga terlihat dari upaya
MPR mengelola setiap wacana usul perubahan UUD NRI Tahun 1945 dan peningkatan
pemahaman konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui
sosialisasi UUD NRI 1945.
2.
Saran
a.
Bagi
Masyarakat:
Perubahan yang terjadi pada lembaga MPR pada era
reformasi ini tentu tidak hanya berhenti disaat ini saja melainkan diperlukan peran aktif
dan responsif dari segenap masyarakat
Indonesia demi terciptanya lembaga MPR yang lebih baik agar kedepannya lembaga MPR
dapat menjadi lembaga yang optimal serta transparan yang dapat membaktikan
dirinya bagi segenap bangsa
Indonesia.
b.
Bagi
MPR:
Walaupun banyak perubahan yang
terjadi dalam lembaga MPR tetapi rakyat Indonesia membutuhkan MPR dalam
mengawal demokrasi yang diusung pada era reformasi ini dan rakyat berharap MPR
dapat bekerja seoptimal mungkin, serta menjujung tinggi nilai-nilai hak asasi
manusia dan mampu mengemban amanat reformasi yang telah dilakukan.
REFRENSI
v
Catatan
Kuliah Hukum Pemerintahan Pusat Y. Hartono, SH,M.Hum. yang dikuliahkan pada
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya
Yogyakarta tahun 2011.
v
Gadrianto,Ir. MS.c, Peranan MPR Orba dan Era Reformasi.Radar
Lampung. 2010.
v Fatwa, A.M. Dr. Tugas dan Fungsi
MPR serta Hubungan Antarlembaga Negara
dalam Sistem Ketatanegaraan.
Sekretariat Jenderal MPR, 2009.
v
Kansil,
C.S.T., Drs., SH., Ilmu Negara,Pradnya
Paramita,2007.
v Mahmud, H.M.
Aksa, Komposisi Keterwakilan MPR
Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945.Sekretariat Jenderal MPR, 2009.
v Sudibyo, BRA Mooryati, Dr.
MPR Pasca
Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan). Sekretariat Jenderal MPR, 2009.
v Wahid, H.M. Hidayat Nur, Dr. M.A. Tugas, Wewenang, dan Peran MPR Pasca
Perubahan UUD NRI Tahun 1945. Sekretariat Jenderal MPR, 2009.
v Amir, Makmur & Reni Dwi
Purnomowati, Lembaga Perwakilan Rakyat,
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 2005.
v Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Sejarah, Realita, dan Dinamika, Sekretariat Jenderal Majelis
Permusyawaratan Rakyat Indonesia, 2006.
v Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008.
v Undang-Undang No. 22 Tahun 2003
Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
v Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.